Center for Religious and Cross-cultural Studies
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
Abstract:
This paper begins by listing three groups of ethical questions involved in organ transplantation: 1) intrinsic ethical issue of whether the technology itself is acceptable; 2) how the organs are acquired and how they are distributed; and 3) some broader issues involving the notion of distributive justice. In the next section Islamic perspectives on some of these issues are discussed as an illustration of how religion deals with them. Despite the existence of impressive consensus—as compared to Islamic responses to other biomedical issues—this paper raises several criticisms concerning the limitation of current Islamic approach to organ transplantation. This paper is concluded with several remarks on general bioethical issues which need to be discussed especially in the Indonesian context.
Keywords : organ transplantation, bioethics, Islam, distributive justice
Sementara ada isu-isu dan nilai-nilai etis yang berlaku secara umum dalam beberapa bidang bioetika, ada pula isu-isu etis khusus untuk masing-masing persoalan biomedis. Makalah ini dimulai dengan mendaftar masalah-masalah yang cukup spesifik terkait dengan pencangkokan organ, yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok persoalan etis besar. Tulisan ini tak berpretensi untuk menjawab semua persoalan pelik tersebut, namun sekadar mengajukan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan etis terkait.
Pembahasan etika di makalah ini ingin dipusatkan pada etika yang bersumber dari agama (tanpa menafikan adanya upaya-upaya menawarkan etika sekular untuk menjawab persoalan etis pencangkokan organ). Karena itu, bagian kedua mencoba menjawab sebagian kecil dari persoalan-persoalan tersebut, dengan mengambil contoh kasus tanggapan Islam terhadap teknologi medis ini. Meski ada konsensus yang cukup mengesankan dalam Islam ketika merespon pencangkokan organ, tanggapan tersebut dianggap kurang lengkap karena hanya terfokus kepada satu dari tiga kelompok masalah etis pencangkokan organ. Secara khusus, satu masalah yang tak cukup banyak mendapat perhatian adalah mengenai isu keadilan distributif.
Di bagian akhir diberikan beberapa catatan mengenai dua isu umum dan mendasar dalam bioetika yang perlu diperbincangkan, khususnya dalam konteks Indonesia .
I. Persoalan-persoalan etis dalam transplantasi organ
Terkait dengan pencangkokan organ, di bawah ini akan dicoba didaftar secara agak terinci isu-isu etis yang mungkin muncul dalam empat kelompok.
A. Kebolehan intrinsik pencangkokan
Di sini pertanyaannya adalah kebolehan atau ketidakbolehan secara intrinsik teknologi ini maupun dampak-dampak negatif yang dipersepsi akan ditimbulkannya. Misalnya, ada beberapa pandangan keagamaan tertentu yang melihat upaya ini sebagai melanggar kesakralan tubuh atau martabat manusia yang merupakan ciptaan Tuhan. Ini bisa jadi merupakan bentuk lain, atau bisa diturunkan dari, keberatan umum terhadap kedokteran yang melakukan intervensi atas tubuh manusia. Berhakkah manusia mengintervensi kehidupan manusia? Sebagian besar agama akan memberikan jawaban afirmatif terhadap pertanyaan ini, namun biasanya dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Maka persoalannya adalah: sampai sejauh apa intervensi itu bisa dilakukan? Ini adalah pertanyaan mengenai batas-batas intervensi yang diperbolehkan, dengan mempertimbangkan upaya mempertahankan martabat manusia maupun upaya menghindari “playing god”. Di bagian akhir tulisan ini nanti akan disinggung mengenai masalah ini lebih jauh.
Di samping itu, dalam literatur etika dan hukum Islam, misalnya, ada pula persoalan-persoalan spesifik seperti: apakah boleh seorang Muslim menerima organ dari non-Muslim? Bagaimana pula dengan organ dari binatang, khususnya binatang yang diharamkan bagi Muslim untuk mengkonsumsinya, seperti babi? Apakah memindahkan organ babi, misalnya, ke tubuh manusia bisa dianalogikan dengan mengkonsumsi daging itu?
Pertanyaan mengenai boleh/tidak bolehnya pencangkokan organ ini bisa juga dilihat dari konteks sosial-ekonomi: kepada kelompok masyarakat manakah teknologi ini berpihak—orang miskin atau kaya? Isu ini akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan mengenai keadilan distributif di bawah. Sebelum itu, fakta bahwa ada pertanyaan-pertanyaan etis yang bisa dimunculkan mengenai kebaikan/keburukan intrinsik teknologi pencangkokan, ini saja sudah menunjukkan bahwa teknologi ini tidak bebas-nilai—bahkan sebelum kita melihat dampak-dampaknya. [2]
B. Perolehan dan distribusi organ
Salah satu persoalan terbesar, khususnya di negara maju seperti AS, muncul karena jauh lebih tingginya permintaan akan organ ketimbang suplai yang ada. Di AS, pada 2003 lebih dari 19,000 pencangkokan organ dilakukan; organ-organ tersebut diambil dari 9,800 donor. Namun angka ini menjadi amat kecil jika dibandingkan dengan daftar tunggu: pada tahun itu, ada 83,000 orang yang menunggu; sehingga rata-rata ada 17 orang setiap harinya yang meninggal karena tak beruntung mendapat organ pada waktunya. [3] Karena itu, ada dua kelompok pertanyaan besar menyangkut permintaan dan suplai organ:
• Bagaimana memperoleh organ?
Secara garis besar, ada dua cara memperoleh organ: melalui donor hidup dan donor mati. Menyangkut donor hidup, bolehkah organ ditukar dengan sejumlah uang? Atau haruskah sumbangan organ didasarkan pada motif yang sepenuhnya altruistik? Etiskah jual-beli organ? Tidakkkah ini akan menjadikan kedokteran menjadi semacam pasar bebas untuk organ? Bolehkah orang—dengan kemauannya sendiri—menjual organnya, dan orang lain membelinya? Saat ini, organ trafficking sudah menjadi masalah global. Meski secara resmi pemerintah-pemerintah di dunia melarang ini dengan hukuman yang cukup keras, nyatanya perdagangan organ terus berlangsung.
Di sini ada masalah etis lain: biasanya penyuplai organ datang dari negara-negara dengan amat banyak orang miskin (seperti India , Bangladesh , China , dan sebagainya), sedangkan penerima organ adalah negara-negara maju (AS, sebagian negara Eropa, Singapura, dan sebagainya). Tidakkah ini menunjukkan bahwa seakan-akan orang kaya memiliki hak lebih atas hidup dan kesehatan (dan kehidupan) dibanding orang miskin? Bagaimana tanggapan etis kita terhadapnya? [4]
Untuk memenuhi kelangkaan organ, bolehkah (khususnya dari sudut pandang agama-agama) mencangkok organ binatang ke tubuh manusia? Bolehkah binatang dikorbankan demi kesejahteraan manusia? Bagaimana juga dengan menggunakan embryo sebagai “pabrik organ”? Atau, memanfaatkan embryo yang akan diaborsi? Ini segera akan membawa ke masalah lain dalam bioetika, yaitu menyangkut peminakan sel tunas, yang dibahas di sesi lain seminar ini. Peminakan sel tunas menjanjikan penyelesaian masalah sumber organ untuk pencangkokan, namun ia juga memunculkan masalah-masalah etis lain.
Terkait dengan donor mati, menjadi hak siapakah organ manusia yang mati? Si manusia itu sendiri, keluarganya, atau bahkan negara? Di Inggris, misalnya, ada prinsip “presumed consent”—bahwa jika tak ada permintaan/wasiat khusus dari orang yang mati, berarti ia menyetujui organ-organ tertentu dalam tubuhnya diambil untuk dicangkokkan pada orang lain (atas dasar pandangan bahwa adalah tugas kewarganegaraan untuk mendonorkan organ tubuhnya setelah tak dipakai). Namun di AS, berlaku prinsip kebalikan yaitu pengambilan organ dari orang mati hanya bisa dilakukan jika ada permintaan/wasiat yang mengijinkannya. (Saat ini sedang diusulkan cara lain yang disebut “mandated choice”, dimana setiap orang wajib memberitahu apakah ia akan mendonorkan organnya atau tidak setelah meningal.) Terkait dengan isu-isu di atas, akan muncul pula pertanyaan lain mengenai bagaimana mendefiniskan kematian (isu yang muncul secara lebih kuat dalam kasus euthanasia, dan pasien dalam situasi persistent vegetative state ).
• Bagaimana mendistribusikan organ?
Karena ada jauh lebih banyak orang yang ingin mendapatkan organ ketimbang suplai yang ada, bagaimana caranya kita menyeleksi siapa yang berhak mendapatkan prioritas menerima organ? Apakah cukup membuat daftar tunggu berdasarkan waktu permintaan? Ataukah perlu ada kriteria lain untuk menyeleksinya? Misalnya, mestikah orang berusia lebih muda mendapatkan prioritas ketimbang orang tua, dengan pertimbangan bahwa yang pertama memiliki harapan hidup produktif yang lebih besar?
Bagaimana dengan narapidana? Bolehkah ia—sebagai orang yang pernah melakukan kejahatan terhadap masyarakat—menerima kebaikan hati anggota masyarakat lain? Di negara seperti AS, ada isu yang pernah menjadi kontroversi: bolehkah imigran ilegal menerima cangkok organ? Atau, bolehkah orang yang tak berhati-hati menjaga kesehatannya menerima organ baru (pecandu alkohol menerima hati baru; atau perokok berat menerima paru-paru)? Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu yang pernah melakukan kesalahan sosial ataupun personal. Bolehkah diskriminasi semacam ini diberlakukan? Secara lebih umum, adakah situasi yang memungkinkan diperbolehkannya (secara etis) diskriminasi? [5]
Persoalan-persoalan di atas muncul karena desakan kekurangan organ yang luar biasa, dibandingkan dengan yang membutuhkannya, sehingga siapa yang berhak mendapatkan organ, atau mendapatkan prioritas untuk itu, menjadi persoalan yang amat mendesak. Masalah-masalah seperti ini biasanya dibahas dalam konteks keadilan distributif (secara sempit). Yaitu, dalam suatu masyarakat, apakah semua anggota masyarakat punya hak yang sama ( equal access ) atas organ? Ada beberapa kriteria lain yang biasa dipakai—misalnya berdasarkan asas kebutuhan (siapa yang paling membutuhkan), kontribusi pada masyarakat, atau pasar-bebas (siapa yang dapat membayar, dia akan mendapatkan)—namun tak ada yang bersifat mutlak keberlakuannya.
- Isu keadilan distributif
Namun dalam konteks yang lebih luas, konteks sumberdaya medis secara lebih luas, ada isu lain. Hingga kini pencangkokan organ adalah prosedur yang amat mahal, yang hanya bisa diperoleh orang yang cukup kaya. Bagi sebagian besar orang, pencangkokan organ bukanlah pilihan sama sekali—artinya, jika tak ada alternatif lain selain pencangkokan, ia akan merosot kesehatannya atau bahkan mati. Di sini penting diperhatikan bahwa warga Amerika Serikat termasuk yang paling banyak menerima organ—jauh lebih banyak dari yang mereka sumbangkan—sehingga seakan-akan prosedur cankok organ sudah seperti prosedur yang biasa, meskipun sesungguhnya tidak.
Sementara itu, penjualan organ amat marak di negara-negara berkembang karena himpitan ekonomi. Jurang sosial antara kaya-miskin jelas tercermin dalam teknologi pencangkokan organ. Teknologi ini jelas tidak berpihak kepada orang miskin, bahkan secara tidak langsung justru amat merugikan banyak orang miskin karena membuka pasar yang luas bagi orang miskin untuk menjual organnya. Kecuali jika alternatif sumber organ ditemukan (misalnya memalui teknologi peminakan sel atau sel tunas, yang masih perlu waktu cukup lama untuk bisa menjadi alternatif yang berarti), sampai kapan pun teknologi ini akan tetap memiliki sifat itu. Sampai di sini, ada pertanyaan yang lebih mendasar mengenai apakah pencangkokan organ merupakan “kemajuan” kedokteran yang tak terbantahkan. Secara teknis, memang ini pencapaian luar biasa; tapi secara inheren juga ada kesulitan besar untuk menjadikan teknologi ini bermanfaat untuk semua atau sebagian besar manusia, seperti akan dibahas di bagian akhir tulisan ini.
Karena itu, berbicara mengenai keadilan distributif dalam konteks yang lebih luas, kita bisa mempertanyakan apakah teknologi ini bermanfaat untuk sebagian besar manusia. Jika tidak, apakah tak seharusnya sumberdaya medis yang ada diprioritaskan untuk prosedur-prosedur medis atau penanganan kasus-kasus media lain, yang menyangkut hidup lebih banyak orang yang tak dapat menikmati teknologi ini? Pada gilirannya, ini akan membawa pada pertanyaan mengenai etika pemilihan masalah untuk riset medis—masalah seperti apakah yang perlu mendapat prioritas riset medis? Perlu dicatat di sini bahwa persoalan semacam ini tak hanya muncul di negara berkembang, tapi bahkan juga di negara maju seperti AS, yang banyak rakyatnya masih belum mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.
II. Dari fikih ke kosmologi tubuh: Pencangkokan organ dalam literatur Islam
Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang dibahas di atas, ada penekanan yang berbeda di antara komunitas yang berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan kedua, mengenai perolehan dan distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan teknologi ini jauh di belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking , sementara distribusi organ tak menjadi isu.
Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari para pemikir Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim, tak mengherankan jika tak semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang sama. Secara umum, kelompok-kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan cukup mendasar pada persoalan boleh tidaknya—dari sudut pandang nilai-nilai keagamaan—melakukan pencangkokan organ.
Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/ jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram , meskipun tidak selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur'an dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih.
Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah-masalah kontemporer ulama mencari kasus-kasus yang dibahas dalam kitab-kitab lama itu, atau kasus-kasus yang analog dengannya. Pengambilan keputusan seperti ini dibimbing oleh seperangkat prinsip umum, yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Di antaranya, ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prinsip mendahulukan menghindari keburukan; prinsip bahwa manfaat yang amat besar dapat mengatasi keburukan-keburukan inheren yang lebih kecil; prinsip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tak diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan); prinsip maslahah atau kesejahteraan publik; dan sebagainya.
Dalam hal pencangkokan organ, keputusan-keputusan legal-etis bisa dicari dengan melihat bagaimana kitab-kitab klasik itu memandang penggunaan bagian-bagian tubuh manusia untuk tujuan penyembuhan. [6] Kadang-kadang, seperti akan ditunjukkan contohnya di bawah, upaya ini dilakukan dengan tak memperhatikan konteksnya dengan baik, tapi hanya melihat kasus dimana organ tubuh manusia diperlakukan meski dalam konteks yang amat jauh berbeda dengan konteks pencangkokan. Meskipun pendekatan ahistoris semacam ini telah sering dikritik, tapi masih juga kerap digunakan.
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya bahkan terkadang saling bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang identik. Di sini akan disampaikan beberapa pandangan yang cukup populer mengenai isu ini. [7]
Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:
- • Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur'an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”
- • Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.
- • Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.
Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut
Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan:
- Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi
- ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya);
- penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )
- Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan. Sekali lagi, untu k ini pun ada beberapa syarat:
- ada persetujuan dari donor;
- nyawa donor tak terancam dengan pengambilan organ dari tubuhnya;
- pencangkokan yang akan dilakukan berpeluang berhasil amat tinggi.
- organ tak diperoleh melalui transaksi jual-beli, karena tidak sah hukumnya menjual organ (yang notabene bukan miliknya sendiri)
- seorang Muslim, kecuali dalam dalam situasi-situasi yang mendesak, hanya boleh menerima organ dari Muslim lainnya. Ada satu implikasi yang menarik dari sini. Jika syarat ini dikombinasikan dengan kebolehan (dan dalam kasus tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka mendonorkan organ bagi Muslim hukumnya adalah wajib-sosial ( fardh kifayah ), yaitu, dalam suatu komunitas Muslim, adalah kewajiban bagi salah seorang Muslim untuk mendonorkan organnya jika ada orang lain yang membutuhkan! (Sekali lagi, tentu dengan memenuhi pembatasan-pembatasan di atas.)
Kasus pencangkokan organ ini termasuk kasus yang agak langka, dimana ada konsensus yang cukup luas. Meski demikian, ada dua catatan lain yang perlu diberikan. Pertama , di samping konsensus umum itu, ada beberapa variasi mengenai beberapa hal yang lebih terinci dan mengenai tingkat keterdesakan (yang paling tinggi menyatakan bahwa prosedur ini boleh dilakukan hanya dalam kondisi dimana nyawa seseorang benar-benar terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau dipertahankan tetap hidup). Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan bahwa pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan nyawa donor—artinya, donor ginjal diperbolehkan, sementara jantung tidak.
Kedua, perlu dicatat bahwa tetap saja ada fatwa-fatwa yang berbeda, meski tak sepopuler fatwa-fatwa di atas.Yang cukup terkenal di antara penentang pencangkokan organ adalah mazhab Deoband di Pakistan (dengan ulamanya yang terkenal cukup konservatif, Mufti Muhammad Syafi'). [8]
Dalam pandangan yang lebih moderat/liberal, keberatan ulama konservatif itu tak terlalu sulit dijawab. Keberatan utama mereka terkait dengan status tubuh manusia: bahwa tubuh adalah suci dan tak boleh dihinakan; dan bahwa tubuh bukanlah milik manusia (lihat tiga alasan yang dibahas di atas). Mengenai yang pertama, argumen yang diambil dari hadis mengenai larangan mematahkan tulang dapat segera ditolak setelah kita melihat konteks ucapan Nabi Muhammad itu. Konteksnya adalah peristiwa di mana seorang penggali kubur yang kasar mematahkan tulang mayat karena kuburan yang sudah digali ternyata terlalu sempit. Ini jelas perbuatan yang tak menghormati mayat. Sementara dalam pencangkokan organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat mulia. Demikian pula, mengambil organ dengan alasan mulia yang jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama manusia.
Tiga catatan kritis atas wacana fikih yang dominan:
Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh mengenai apa yang disebut oleh Moosa (2002) sebagai “kosmologi tubuh”. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-perbedaan fatwa tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda. Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk memperlakukan tubuhnya sendiri untuk tujuan apapun. Ujung-ujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang deterministik. Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi, misalnya, pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di antaranya, darah menstruasi dipandang sebagai sesuatu yang najis. Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai peristiwa biologis/alamiah sepenuhnya, tanpa perlu diberi signifikansi spiritual. Dalam kasus yang kedua ini lebih tampak jelas adanya inkoherensi antara pandangan konservatif atas tubuh dengan pandangan mengenai tubuh yang disampaikan sains. Inilah yang dikeluhkan oleh Moosa: tak adanya koherensi epistemik antara fikih dengan sains di masa ini, sementara di masa yang lebih awal, pemahaman fikih selalu dilandasi oleh pemahaman ilmiah yang up to date .
Ditarik lebih jauh, jika kosmologi tubuh modern diterima, maka mungkin tak perlu ada pembedaan sama sekali antara organ yang diperoleh dari manusia hidup, manusia mati, atau bahkan dari binatang, kecuali pembedaan yang sifatnya biologis semata. Demikian pula, pembedaan antara tubuh Muslim dengan non-muslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan. [9]
Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga kelompok persoalan etis menyangkut pencangkokan organ (yang dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu condong pada kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut pandang pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok masalah etis kedua (perolehan dan distribusi organ) hanya sedikit tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas, kelompok masalah kedua memang terasa jauh lebih urgen di tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi prosedur yang amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim pula dilakukan dalam komunitas Muslim; namun persoalan etika perolehan dan distribusi organ belum cukup mendapat perhatian.
Demikian pula, ketakbolehan memperjualbelikan organ diajukan semata-mata dengan alasan bahwa tubuh seseorang bukan miliknya sendiri. Di luar alasan teologis itu, sebenarnya ada alasan sosial-ekonomis yang pada saat ini terasa jauh lebih mendesak menyangkut terjadinya organ trafficking yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga.
Yang nyaris absen dari literatur Islam adalah pembahasan mengenai isu keadilan distributif. Memandang bahwa keadilan adalah salah satu nilai etis terpenting Islam, nyaris tak adanya pembahasan ini tentu patut disesalkan. Perhatian yang lebih serius pada aspek keadilan sosial-ekonomi kiranya akan mengubah wacana pemfatwaan masalah pencangkokan organ.
Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum tradisi etika dalam Islam kontemporer tak cukup berkembang, terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih berkutat pada persoalan-persoalan legal mengenai halal-haram secara intrinsik. Di sisi lain, jika dalam kasus pelarangan jual beli organ yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini karena pembuat fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang lebih awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosial-ekonomi saat ini. Upaya-upaya me(re-)konstruksi suatu sistem etika Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat munculnya ragam mazhab-mazhab etika yang cukup kuat untuk mendukung perdebatan etis mengenai masalah-masalah kontemporer. Ini adalah suatu kelemahan yang banyak dikeluhkan pemikir Muslim, dan sedang diperbaiki, namun kiranya masih membutuhkan waktu. Sementara itu, perdebatan-perdebatan etis yang terjadi biasanya mengambil bentuk-bentuk parsial dan ad hoc , tidak sistemik.
III. Catatan penutup
1. Pluralisme etika keagamaan dalam wacana publik
Di atas telah dibahas secara singkat respon Muslim terhadap transplantasi organ, sebagai ilustrasi bagaimana agama merespon persoalan biomedis. Dari pembahasan singkat itu saja telah tampak bahwa, terlepas dari adanya konsensus yang cukup luas, menghadapi persoalan pencangkokan organ, khususnya, dan persoalan biomedis lain pada umumnya, Islam tak memiliki satu jawaban pasti. Dari sumber-sumber tekstual yang sama, merespon persoalan yang sama, bisa muncul beberapa pandangan yang berbeda, bahkan bertolak-belakang.
Persoalan yang sama dapat kita lihat juga dalam Hindu. S. Cromwell Crawford, di pengantar bukunya yang membahas bieotika dalam pandangan Hindu abad ke-21, menunjukkan bahwa perbedaan seperti ini sulit dihindari dalam Hindu, karena tiadanya Paus atau Vatikan sebagai lembaga otoritas tertinggi. Sesungguhnya, meski ada Paus dan Vatikan, dalam Katolik pun ada perbedaan-perbedaan di antara para pemikir Katolik. Hal serupa dapat ditunjukkan dengan mudah, jelas terjadi pula dalam tradisi Protestan, Yahudi, Buddha, dan sebagainya. Menghadapi persoalan pluralitas pandangan ini, tampaknya akan terlalu sulit, dan mungkin tak terlalu bermanfaat untuk memastikan pandangan manakah yang bisa disebut sebagai “pandangan Islam”, “pandangan Hindu”, “pandangan Kristen”, dan sebagainya. Pluralitas pandangan ini tampaknya tak bisa lain harus diterima.
Jadi di sini ada dua jenis keragaman: keragaman intra-agama, maupun antar-agama. Persoalan berikutnya adalah bagaimana membicarakan perbedaan-perbedaan ini dalam wacana publik, yang disamping diramaikan oleh penganut pandangan-pandangan keagamaan yang berbeda, juga mungkin memiliki pendukung sistem-sitem etika lain. Dalam konteks Indonesia , misalnya, keragaman ini terjadi, dan tak bisa diabaikan dengan mudah. Yang terjadi saat ini adalah masing-masing komunitas agama berdiri sendiri secara eksklusif dan hanya berbicara pada masing-masing penganutnya (yang terdiri dari pasien maupun dokter yang harus mengambil keputusan-keputusan bioetis sendiri).
Situasi ini mungkin tak bisa berlangsung terus seperti ini. Ketika kebijakan menyangkut isu-isu biomedis harus diambil, cepat atau lambat persentuhan antara sistem-sistem etika yang berlainan akan muncul. Tentu persoalan semacam ini tak terjadi hanya dalam konteks bioetika, tapi juga dalam setiap hubungan antara agama-agama dan masyarakat dalam wacana publik. Untuk itu, sampai tingkat tertentu, agama-agama dituntut untuk melakukan rasionalisasi (“objektifikasi”) etika keagamaannya, sehingga dapat saling berbicara dalam bahasa bersama, bukan bahasa eksklusif keagamaannya sendiri. Kesetiaan berlebihan pada suatu bahasa agama ataupun pemimpin agama sendiri akan menyulitkan komunikasi dalam wacana publik itu.
2. “Kemajuan” medis dan penaklukkan kematian
Di atas telah disinggung sedikit mengenai kelemahan prosedur pencangkokan karena sejauh ini ia hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang cukup kaya untuk membayarnya (yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding orang yang bisa memanfaatkannya). Kelemahan lain yang cukup serius , dari sisi medis, adalah bahwa sesungguhnya prosedur ini masih jauh dari sempurna. Salah satu persoalan terbesar di sini adalah adanya kemungkinan penolakan tubuh atas organ yang dicangkokkan, sehingga si penerima organ harus terus meminum obat-obatan untuk menekan perlawanan tubuh yang ingin mematikan “benda asing” itu.
Demikian seriusnya isu ini, sehingga Ronald Munson mempertanyakan apakah pencangkokan organ bisa disebut sebagai kemajuan medis! [10] Munson meragukan ini sebagai kemajuan medis karena tampaknya yang terjadi dalam diri pasien adalah pertukaran dari penyakit akut menjadi kondisi kronis yang lain—bukan, sebagaimana seharusnya tujuan kedokteran, menghilangkan penyakit! [11]
Dalam beberapa kasus, si penerima justru menjadi amat menderita karena keharusan mengkonsumsi immunosuppressant terus menerus, yang menjadikannya tetap tak bisa hidup normal. Dalam salah satu dari kasus tersebut [12], akhirnya si pasien memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi obat anti-kekebalan tubuh itu, dan beberapa waktu kemudian meninggal. Keputusan itu diawali dengan penerimaan sadar bahwa kehidupan bersama immunosuppressant bukanlah kehidupan yang berkualitas, dan bahwa kematian tak perlu dilawan.
“Kita hidup dalam dunia yang makin takut terhadap kematian,” kata Christine Gudorf. Dalam dunia ini, kematian yang ideal adalah kematian di masa tua, yang mendadak dan tanpa penderitaan. Karena itu manusia tak menyiapkan diri untuk mati, dan berusaha melawannya sedapat mungkin. Benar bahwa dorongan untuk terus hidup adalah dorongan alamiah manusia, namun perlawanan tanpa henti atas kematian justru dapat menimbulkan penderitaan yang lebih besar. Persoalannya, memang, kita tak pernah tahu, sampai di titik mana kita bisa berkata bahwa kita sudah cukup berusaha, dan kemudian menyerah pada kematian. Terlepas dari itu, “keputusan terakhir mengenai sejauh mana kita menjadi manusia adalah sebaik apa kita menghadapi kematian.” [13] Tugas utama kedokteran adalah menyelamatkan hidup manusia. Namun, tak kalah penting, tugas lainnya adalah menyiapkan seseorang untuk menghadapi kematian yang tak bisa dihindari, karena kematian bukanlah musuh kedokteran.
Ini pula yang menjadi salah satu guideline etis penting dalam Islam, sebagaimana disampaikan Abul Fadl Mohsen Ebrahim (1988). Kedokteran adalah bidang yang amat mulia karena tujuan utamanya adalah menyelamatkan kehidupan, namun ia tak boleh melewati batas hingga ingin “menaklukkan kematian”. Tentu sulit untuk menarik batas seperti itu; dan mungkin ini akan menjadi keputusan individual yang berbeda dari kasus satu ke kasus lain. Bioetika memberikan guidelines umum, dan kemudian, mau tak mau, banyak keputusan-keputusan khusus yang mesti diambil sendiri oleh dokter, pasien, amaupun keluarganya. Yang bisa dilakukan dalam wacana publik adalah membuka mata kita atas pilihan-pilihan etis yang beragam beserta masing-masing konsekuensi personal maupun sosialnya. ***
Daftar Pustaka:
Lawrence Cohen, “Where It Hurts: Indian Material for an Ethics of Organ Transplantation”, Zygon , 38: 3 (2003), 663-688,
S. Cromwell Crawford, Hindu Bioethics for the Twenty-first Century , State University of New York Press, 2003.
Christine Gudorf, “Withdrawal of Artificial Nutrition and Hydration: Some Reflections”, salah satu catatan pengantar yang ditulis untuk seminar Seminar Bioetika di Yogyakarta, Juni 2005.
Ethics of Organ Transplantation , Center for Bioethics – University of Minnesota , 2004 (dapat diakses di: www.bioethics.umn.edu)
Damien Keown, Buddhism and Bioethics, Palgrave, 1995, 2001
Lary May, Shari Collins-Chobanian, Kai Wong, Applied Ethics-A Multicultural Approach (2 nd Edition), Prentice-Hall, 1998.
Abul Fadl Mohsen Ibrahim, Biomedical Issues: Islamic Perspective , Islamic Medical Association of South Africa , 1988.
Abul Fadl Mohsen Ibrahim, Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View, The Islamic Foundation, Leicester, 2001 (diterjemahkan menjadi Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, Telaah Fikih dan Bioetika Islam , Serambi 2004.)
Ebrahim Moosa, “Interface of Science and Jurisprudence: Dissonant gazes at the Body in Modern Muslim Ethics”, dalam God, Life, and Cosmos , eds. Ted Peters, Muzaffar Iqbal, dan Syed Nomanul Haq, Ashgate Press, 2002.
David L. Perry, “Should Violent Felons Receive Organ Transplants?,” diakses dari http://www.scu.edu/ethics/publications/submitted/Perry/transplant.html
Heidi Williams, “ Allocating a Future: Ethics and Organ Transplantation”, diakses dari: http://www.scu.edu/ethics/publications/submitted/allocating_organs.html
Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk matakuliah “Religion, Science and Technology” dan “Environment, Worldview, and Religion”. Selain mengajar, penulis mengembangkan program mengenai ilmu dan agama di CRCS dan juga menjadi koordinator Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA). Latar belakang keilmuan penulis adalah filsafat ilmu dan filsafat Islam.
[1] Makalah ini pertama kali disajikan sebagai bahan diskusi dalam Seminar Bioetika di Percik, Salatiga, 12-13 April 2006.
[2] Isu ini perlu ditekankan, karena ada analogi yang amat populer, tapi sering digunakan terlalu jauh, dalam debat tentang kebebasnilaian teknologi, yaitu analogi pisau. Teknologi dianggap sebagai semacam pisau yang bisa digunakan untuk tujuan yang bermanfaat bagi manusia namun juga untuk membunuh manusia. Artinya, pisau itu sendiri tak memiliki sifat baik atau buruk, tapi nilai baik/buruk muncul terkait dengan tujuan apa ia digunakan. Yang ingin penulis tunjukkan oleh pernyataan mengenai tak bebas nilainya pencangkokan organ di atas (dan ini akan dikuatkan dengan contoh-contoh lain di bawah) adalah bahwa “pisau” itu sendiri tidak selalu bebas nilai; bisa jadi “pisau” itu buruk atau baik secara intrinsik, dalam dirinya sendiri. Beberapa teknologi mungkin netral secara intrinsik; teknologi lain tidak netral.
[3]Lihat situs lembaga pencangkokan organ Amerika Serikat, United Network for Organ Sharing, www.unos.org , untuk data-data terkait.
[4] Salah satu artikel baru yang membahas masalah ini adalah Cohen (2003). Di artikel tersebut Cohen menunjukkan bagaimana orang-orang miskin di India menjual organnya, khususnya ginjal, untuk membayar hutang. Namun segera setelah hutang terbayar, mereka kembali terlilit hutang!
[5] Pertanyaan etis yang mirip akan muncul dalam kasus HIV/AIDS. Atas dasar anggapan bahwa penderita penyakit ini melakukan keburukan moral (seks bebas, homseksualitas, penggunaan narkoba—meski jelas tak semua penderita terjangkit HIV/AIDS karena alasan itu), sebagian kaum agamawan yang konservatif menolak merestui tindakan-tindakan preventif seperti distribusi kondom yang luas. Dalam kasus HIV/AIDS, diskriminasi seperti ini mungkin lebih terasa keterlaluan karena seringkali muncul dari prasangka; namun sesungguhnya prinsip yang diterapkan sama dengan diskriminasi terhadap perokok dalam hal pencangkokan organ di atas.
[6] Pada bagian ini, kecuali jika disebutkan lain, sumber utama yang digunakan adalah salah satu literatur paling komprehensif dalam masalah ini, karya Abul Fadl Mohsen Ibrahim, Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View, The Islamic Foundation, Leicester, 2001 (diterjemahkan menjadi Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, Telaah Fikih dan Bioetika Islam , Serambi 2004.)
[7] Akan amat menarik mencermati bagaimana Muslim Indonesia—melalui lembaga-lembaga pemberi fatwa seperti MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, atau Bahtsul Masa'il NU, merespon persoalan ini; namun ini tak bisa dilakukan dalam tulisan ini.
[8] Lihat Ebrahim Moosa, “Interface of Science and Jurisprudence: Dissonant gazes at the Body in Modern Muslim Ethics”, dalam God, Life, and Cosmos , eds. Ted Peters, Muzaffar Iqbal, dan Syed Nomanul Haq, Ashgate Press, 2002.
[9] Bisa jadi, pembedaan tubuh Muslim-non-Muslim di sini tak terkait dengan kosmologi tubuh, dan bukan merupakan sesuatu yang sifatnya esensial (bahwa tubuh Muslim berbeda/lebih unggul dari tubuh non-Muslim secara inheren, atau pandangan sejenis). Tapi ini mungkin berakar dari persoalan politis. Di masa dimana Islam berada pada momen eksklusifnya, dan ada persaingan politis yang cukup kuat antar kelompok-kelompok agama, pembedaan seperti ini memiliki signifikansi politis yang kuat.
[10] Ronald Munson, Raising the Dead : Organ Transplants, Ethics and Society, Oxford University Press, 2004.
[11] Dengan ini tentu kita tak mengingkari fakta bahwa pencangkokan organ telah membawa manfaat luar biasa dalam menyelamatkan banyak kehidupan. Tapi, seperti disampaikan Munson, teknologi pencangkokan mungkin mesti dianggap sebagai baru separuh jalan—jalan berikutnya mungkin melibatkan peminakan sel tunas. Perkembangan lebih jauh dalam bidang peminakan sel tunas diharapkan dapat mengatasi persoalan ini sebagiannya—sekaligus persoalan-persoalan besar mengenai perolehan dan distribusi organ—namun ini masih membutuhkan waktu lama dan akan menimbulkan persoalan-persoalan etis lain.
[12] Kasus yang disampaikan Christine Gudorf dalam Seminar Bioetika di Yogyakarta, Juni 2005.
[13] Christine Gudorf, “Withdrawal of Artificial Nutrition and Hydration: Some Reflections”, salah satu catatan pengantar yang ditulis untuk seminar yang disebut pada c.k. 10.


